Praktisi Hukum Sekaligus Akademisi Dr (Cand) Eko Saputra,.SH,.MH Tegaskan Isu ISPA di Dumai Tak Bisa Disangkutkan ke Pelindo Tanpa Bukti Ilmiah

Praktisi Hukum Sekaligus Akademisi Dr (Cand) Eko Saputra,.SH,.MH  Tegaskan Isu ISPA di Dumai Tak Bisa Disangkutkan ke Pelindo Tanpa Bukti Ilmiah

SUARAKRITIK.COM-DUMAI — Polemik pemberitaan mengenai dugaan pencemaran udara di kawasan Pelindo Dumai kembali menghangat. Sejumlah media lokal sebelumnya menyebut Pelindo sebagai pemicu meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan bahkan Tuberkulosis (TBC) di wilayah Ring 1. 

Namun klaim tersebut mendapat bantahan tegas dari seorang praktisi hukum sekaligus akademisi Dr (Cand) Eko Saputra,.SH,.MH yang menilai tudingan itu tidak memiliki dasar ilmiah maupun landasan hukum yang memadai.

Dalam wawancara kepada sejumlah media, praktisi hukum tersebut yang dimintai oleh awak
Media menjelaskan bahwa pemberitaan yang menyebut Pelindo sebagai penyebab langsung polusi udara tidak sejalan dengan fungsi dan kewenangan perusahaan tersebut jika
Kita berkaca pada entitas perusahaan tersebut bergerak dalam bidangnya.

“Pelindo adalah operator pelabuhan. Mereka menyediakan layanan kepelabuhanan, bukan perusahaan pengolah CPO atau produsen turunan sawit. Menyimpulkan bahwa Pelindo adalah penyebab polusi udara jelas keliru dan tidak fair,” ujarnya sambil tersenyum.

Ia menegaskan bahwa kaitan antara aktivitas Pelindo dengan meningkatnya ISPA dan TBC harus ditopang oleh data resmi dari instansi kompeten, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Lingkungan Hidup, serta laboratorium pengukuran kualitas udara. Tanpa itu, pemberitaan yang muncul cenderung bersifat asumsi dan mengarah pada pembentukan opini sepihak, okelah jika emang data terdampak dari penyakit ISPA atau TBC itu dari Dinas Kesehatan, tetapi apakah itu penyebabnya diakibatkan oleh Pelindo, tentu tidak kan pasti banyak faktor-faktor lain dari data itu.

Beberapa pemberitaan yang menyebut Pelindo sebagai “pelaku kejahatan lingkungan” dinilai sangat tidak proporsional dan bersifat narasi yang sangat tendensius.

“Tuduhan seperti itu terlalu prematur. Istilah ‘kejahatan lingkungan’ memiliki konsekuensi hukum yang berat dan tidak boleh disematkan tanpa bukti ilmiah. Media harus berhati-hati karena kalimat seperti itu dapat merusak reputasi perusahaan,” tambahnya.

Menurutnya, penegakan hukum lingkungan membutuhkan tahapan yang jelas mulai dari audit lingkungan hingga investigasi teknis oleh lembaga resmi bukan hanya berdasarkan rapat dengar pendapat atau pernyataan sepihak apalagi data masyarakat yang terkena penyakit tersebut.

Ketika diminta tanggapan mengenai langkah Pelindo menyikapi isu tersebut, sang akademisi memilih untuk tidak mendahului sikap resmi perusahaan. Namun ia menegaskan bahwa Pelindo memiliki hak untuk menempuh jalur etik maupun hukum jika merasa dirugikan pemberitaan yang tidak proporsional.

“Tidak etis bagi saya menjawab apa langkah Pelindo ke depan. Tetapi secara hukum, Pelindo dapat mengajukan keberatan kepada redaksi, melaporkan ke Dewan Pers, atau mengambil upaya hukum bila berita tersebut melanggar kode etik,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa media memiliki kewajiban menjalankan prinsip cover both sides, verifikasi ketat, dan mengedepankan uji informasi sebelum mempublikasikan tuduhan berat seperti pencemaran lingkungan.

“Pertanyaannya, apakah media yang menuding Pelindo telah melakukan uji informasi yang memadai? Ketika menyebut Pelindo sebagai penyebab ISPA dan TBC, itu tudingan serius. Media harus memastikan bahwa informasi tersebut akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,”

Ia menutup penjelasannya dengan kembali menekankan bahwa Pelindo Dumai tidak memiliki karakteristik sebagai perusahaan yang menghasilkan limbah udara atau polutan langsung.

“Kalau kita berbicara secara fair, Pelindo bukan entitas produsen. Mereka tidak mengolah atau memproduksi CPO. Maka, menyimpulkan Pelindo sebagai penyebab ISPA atau TBC tidak dapat dilakukan tanpa bukti ilmiah,” tegasnya.

Praktisi hukum tersebut mengimbau publik untuk lebih kritis terhadap pemberitaan yang berpotensi membentuk stigma negatif tanpa verifikasi yang memadai, dan meminta media tetap menjunjung tinggi integritas jurnalistik dalam menginformasikan isu-isu lingkungan yang sensitif.

Berita Lainnya

Index